Pages

Dari Keraton Hingga Benteng Vastenburg



"Ini adalah yang pertama, semua harus sempurna."

Pagi itu saya harus ke bandara Soekarno Hatta sebelum adzan Subuh berkumandang. Saya diundang untuk mengikuti uji jaringan sebuah perusahaan telekomunikasi di sebuah kota kecil namun bisa dibilang paling padat penduduknya. Kesalahan mengatur jadwal meeting membuat saya harus rela hanya memiliki waktu 1 jam packing, 30 menit untuk tidur, dan 10 menit untuk mandi. Padahal ini adalah penerbangan pertama saya. Duh.

Saya mengambil risiko harus tidur sebentar daripada tidur cukup tapi terlambat tiba di Bandara. Bandara masih sepi saat saya tiba. Saya berharap bisa menemukan tempat berkumpul secepatnya lalu mencuri-curi waktu tidur. Tapi ternyata gagal. Sofa empuk yang ada di ruangan tempat berkumpul tidak berhasil membuat saya terlelap. Yang ada malah saya terlibat obrolan singkat dengan Ratri, Adhams, dan Wiku. Mereka akan sama-sama berangkat ke Solo pagi ini.



Jakarta, lalu menuju Solo

Jika kamu menjadi saya, apa yang kamu rasakan pada pengalaman pertama terbang? Deg-degan? Sudah pasti. Norak? Berhasil saya sembunyikan. Tapi setelah saya sadari, norak dan deg-degannya saya keren ya ternyata. Lah, bagaimana tidak? naik pesawat pertama kali tapi langsung menggunakan Garuda Indonesia. "Rezeki anak soleh", kalau kata ibu saya seraya tersenyum.

Tapi yang jelas, orang yang pertama kali naik pesawat akan terlihat dari mukanya yang serius dan tegang. Mulut komat-kamit baca doa. Dan tangan yang tidak berhenti berdzikir. Itu mungkin orang lain. Untuk saya, seperti yang saya bilang, semua berhasil saya sembunyikan. *tepuk tangan untuk diri sendiri*

Flight pertama di pagi hari tanpa adanya delay membuat mood saya tetap terjaga dengan baik selama 50 menit perjalanan dari Jakarta menuju Solo. Saya pikir, mood baik adalah bekal baik, karena sesampainya saya di sana saya harus langsung mengikuti rangkaian acara yang sudah disediakan dari pagi hingga malam.



pemberi pengalaman terbang pertama kali

Solo, malam hingga pagi hari.

Kelelahan sepanjang hari mengikuti rangkaian acara tidak membuat langsung tidur pada malam harinya. kami meluangkan waktu untuk keluar cari makan. Setelah diskusi singkat, akhirnya semua sepakat mengiikuti pilihan salah satu teman kami: Gudeg Ceker! Kami memang tidak menemukan tempat Gudeg Ceker enak yang dimaksud karena tempatnya memang sudah tutup. Tapi beruntung kami dapat rekomendasi dari supir Taksi yang kami tumpangi, yaitu "Gudeg Ceker Palang Bu Kardi".

Silahkan mencoba sendiri Gudeg Ceker Palang Bu Kardi tersebut dan temukan alasan mengapa ada teman saya yang rela menghabiskan dua porsi pada malam itu.


Suasana di Gudeg Ceker Palang Bu Kardi -- hasil jepretan Eka

Paginya, hari kedua saya di Solo sudah pasti lebih seru. Jelas, karena hari tersebut adalah hari terakhir. Berdosa rasanya kalau hari tersebut tidak digunakan untuk berkeliling ke kota mungil yang berhasil mengirimkan pemimipinnya untuk mengemban amanah memperbaiki Jakarta. Kami tidak akan 'sendirian', hari cerah kami di Solo ditemani dengan salah satu travel blogger kota tersebut. Halim namanya.

Solo, kota yang masih sangat kental dengan sejarah dan budaya. Gak percaya? Coba simak kisah saya di bawah ini.

Solo, Pasar Gede.

Tujuan pertama adalah Pasar Gede. Tidak ada alasan khusus saat memilih tempat ini untuk awal dari semua perjalanan kami. Tapi belakangan saya ketahui, selain menyimpan sejarah yang tidak boleh terlupakan, tempat ini juga menyimpan sebuah rahasia 'pelepas dahaga', yaitu es dawet Bu Dermi. Tidak salah memang es dawet ini diliput oleh beberapa media. Rasa panas kota Solo langsung lebur begitu sekumpulan dawet, ketan hitam, dan selasih melewati tenggorokan saya.


Saya (kaos abu-abu) dan kawan-kawan -- hasil jepretan Eka


Keceriaan rombongan hore di dalam Pasar Gede

"Pasar ini pernah dibakar pada tahun 1999, saat Megawati tidak berhasil menang menjadi Presiden RI", kata Halim.

“Kenapa kok Megawati kalah terus pasarnya yang dibakar?” Begitu tanya Eka, salah seorang teman saya dalam perjalanan ini, yang tak mampu menyembunyikan keheranan ketika Halim menceritakan sejarah pasar ini.

“Karena pasar ini dianggap sebagai pusatnya pedagang Cina, mbak.” Begitu jawab Halim.

"Maafkan kami ya Halim," kata Eka berempati.

Benar kata Pandji di bit Minoritas - Mesakke Bangsaku. Indonesia pernah mengalami masa kelamnya terhadap minoritas pada tahun 1998-1999. Saat ini ada 5% orang Indonesia keturunan Tionghoa, alias Cina. Salah satu dari 5% tersebut adalah teman saya, yang setelah nonton bit ini langsung tidak bisa tidur karena teringat kejadian yang menimpa keluarganya pada tahun 1998. Trauma.

"Bayangkan, saat itu orang Indonesia keturunan Tionghoa digebukin, dibunuhin, diperkosa, DI PINGGIR JALAN", ujar Pandji berapi-api. Menurut saya, jelas saja hal ini meninggalkan trauma bagi siapapun. Menyedihkannya lagi, kata Pandji, beberapa orang yang terlibat pada tahun tersebut, mau maju menjadi presiden. 
Suram.

Solo, Benteng Vastenburg

"Belanda selalu mendirikan benteng di pusat pemerintahan." kata Halim.

Benar saja lokasi benteng ini tidak jauh dari Keraton Kasunanan. Benteng ini masih terlihat kokoh meskipun dindingnya sudah banyak ditempeli lumut. Sudah tua umurnya, dibangun pada tahun 1745. Belanda membuat bangunan ini untuk mengetahui pergerakan yang dibuat oleh keraton, lalu mengantisipasinya. Sekelumit sejarah yang membuat saya melayang membayangkan apa yang terjadi di masa itu.

Benteng Vastenburg, renta tapi masih berusaha memancarkan kegagahannya

Terbayang, dengan strategi Belanda seperti itu, Sang Sultan gigih berteriak, orasi kepada rakyatnya:
"Ayo Bangsa Indonesia! Ulangi ini: Kami tidak takut! Kami tidak takut! Kami tidak takut!"
Seruan yang ditujukan kepada rakyat, agar mereka meneriakkan hal tersebut ke pihak penjajah yang sengaja mendirikan benteng di dekat pusat pemerintahan. Seruan bahwa mereka tidak takut akan strategi tersebut. Ah, merinding sendiri saya ingat bagaimana cerita Pandji di buku NASIONAL.IS.ME tentang dibalik layar "Kami Tidak Takut" dan "IndonesiaUnite".

Sayang kita hanya bisa melihat dari luar benteng bersejarah ini -- hasil jepretan Eka

Solo, Keraton Mangkunegaran

Halim berkata bahwa tempat ini harus dikunjungi bila kita berkunjung ke Solo. Bagai anak SD yang baru diajari tentang suatu hal, saya dan kawan-kawan langsung setuju dengan saran dia. Ini adalah tempat tinggal para anggota kesultanan Surakarta pada masanya. Ada banyak barang peninggalan sejarah yang bisa dilihat. Ada cerita-cerita yang bisa kita dapat. Ada juga ruang-ruang yang sangat sakral yang bisa dikunjungi di dalamnya. Sayangnya, beberapa tidak boleh difoto.


Halaman depan keraton Mangkunegaran


 
 
Keceriaan di dalam Keraton Mangkunegaran

Eka lompat-lompatan di depan Istal milik Mangkunegaran


Belakang (Ki-ka): Halim, Wiku, Adham, Dodo, Saya
Depan (Ki-Ka): Mbok Venus, Ratri, Eka. 

Akhirnya, kebersamaan kami di Keraton Mangkunegaran harus berakhir karena rombongan harus segera menuju Restoran Omah Sinten untuk makan siang, untuk kemudian dilanjutkan menuju ke bandara Adi Soemarno untuk terbang pulang ke Jakarta. Keceriaan masih berlanjut disana hingga kita pulang.

Solo memang kota kecil, tapi sejarah dan kebudayaannya masih sangat padat. Sampai jumpa kembali kota Solo. Senang bisa berkenalan dengan mu.

"Ilmu yang dipakai gak manfaat kecuali dibagi untuk orang lain di Indonesia." - Pandji, Merdeka Dalam Bercanda.

Dalam menulis, Saya juga yakin bahwa cerita yang saya alami ketika pulang dari Hongkong, lalu dari Jakarta menuju Solo, jalan-jalan di kota Solo, lalu kembali lagi ke Jakarta, menggunakan Garuda Indonesia, juga gak akan bermanfaat kecuali dibagi untuk orang lain di blog saya.


di kabin bersama Agus Hamonangan, pendiri forum ID - Android Community

bersama Simbok Venus, seorang travel blogger yang sudah melanglangbuana

GA 0220 siap mengantar rombongan kami kembali ke Jakarta

Maskapai ini jauh menyenangkan, pikir saya. Makanan yang disediakan ternyata cukup enak. Film-film yang ada di layar yang ada di depan tempat duduk saya pun terdiri dari film-film yang masih fresh. Bahkan kalau saya tidak salah ingat, beberapa film masih tayang di bioskop.

Dari sisi musik, Saya senang dengan menyediakan musik yang sangat akrab buat telinga saya. Nilai plus buat Garuda Indonesia karena hal-hal yang saya sebutkan tadi membuat saya tidak bosan di pesawat.

Paling jelas saya sadari, fasilitas dan pelayanan yang saya terima di Garuda Indonesia ini lebih baik dibanding ketika saya pergi ke Hongkong dengan maskapai sekelas Garuda yang berasal dari tanah kelahiran Jackie Chan. (di mana hanya bisa melihat awan dan tidur karena minim hiburan di pesawat tersebut).

Dari sisi kenyamanan kabin? Dari segi take-off dan landing? Nyaman banget. Seperti kalimat yang saya tulis di awal cerita ini. "Ini adalah yang pertama, segalanya harus sempurna". Garuda Indonesia berhasil menyajikannya untuk saya.

Jadi, kemana kamu akan merencanakan liburan Bersama Garuda setelah membaca tulisan saya ini?
--

Tulisan ini saya ikut sertakan pada lomba blog #MBWT Pandji Pragiwaksono #BersamaGaruda